You are currently viewing Kurikulum Merdeka, Tinggalkan Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Hanya Bersifat Reseptif

Kurikulum Merdeka, Tinggalkan Pembelajaran Bahasa Indonesia Yang Hanya Bersifat Reseptif

Oleh: Ai Marhayanti Achmad, M.Pd.

Bahasa memiliki peranan sentral dalam perkembangan intelektual, sosial dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan siswa dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa Indonesia terutama diharapkan membantu siswanya untuk lebih dapat mengenal dirinya, budayanya, dan lingkungan sekitar. Selain itu, pembelajaran bahasa juga mengarahkan siswa untuk berani mengemukakan gagasan sehingga mampu berpartisipasi dalam masyarakat. Siswa juga dilatih menggunakan kemampuan analitis dan imajinasi yang ada dalam dirinya.

Secara jujur harus diakui, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sebagian sekolah belum berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan teknik pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Mata pelajaran Bahasa Indonesia belum mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif. Akibatnya, Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh siswa. Imbas lebih jauh dari kondisi pembelajaran semacam itu adalah kegagalan siswa dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, serta sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tugas seorang guru sejatinya adalah mengarahkan para siswanya untuk menemukan jawabannya sendiri berkenaan dengan unsur-unsur yang sesuai dengan rambu-rambu yang telah disediakan guru dan harus sesuai dengan pengajaran yang telah ditentukan. Kurikulum membebaskan guru untuk memakai berbagai metode secara bervariasi dalam penyajian materi tertentu sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Hal inilah yang kemudian di ramu pada kurikulum 13 (K.13) yang mengendepankan pendekatan saintifik sebagai landasan berpijaknya dan membagi materi pembelajaran ke dalam dua ranah yaitu pengetahuan dan keterampilan.

Di awal kemunculannya sejatinya kurikulum K.13 pada tahun 2013 diharapkan mampu menjadi jawaban atas tantangan pembelajaran yang selama ini dominan pada pembelajaran reseptif menjadi pembelajaran aktif. Namun, seiring berjalannya waktu tenyata hadirnya K.13 dianggap belum mampu menjawab sepenuhnya tantangan pembelajaran yang ada. Siswa lebih dominan jadi penyimak materi yang disampaikan oleh guru. Siswa masih terus terbiasa jadi penonton bukan pemain. Ditambah lagi serangan virus Covid-19 yang telah menyerang seluruh dunia dan menjadi pandemi termasuk di Indonesia, berdampak signifikan bagi pendidikan di Indonesia.

Selanjutnya Mulai tahun 2022 hingga 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberikan tiga opsi kurikulum yang dapat diterapkan satuan pendidikan dalam pembelajaran, yaitu kurikulum 2013, kurikulum darurat, dan kurikulum Merdeka. Kurikulum darurat merupakan penyederhanaan dari kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pada tahun 2020 ketika Covid-19 menyerang Indonesia. Kurikulum Merdeka merupakan kurikulum berbasis kompetensi untuk mendukung pemulihan pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning).

Menurut Supriyatno, Pelaksana Tugas Kepala Pusat Perbukuan Kemendikbudristek, salah satu karakteristik kurikulum prototipe yang merupakan cikal bakal lahirnya kurikulum merdeka adalah menerapkan pembelajaran berbasis proyek untuk mendukung pengembangan karakter sesuai dengan profil pelajar pancasila. Dalam kurikulum prototipe, sekolah diberikan keleluasaan dan kemerdekaan untuk memberikan proyek-proyek pembelajaran yang relevan dan dekat dengan lingkungan sekolah. 

Pembelajaran berbasis proyek dianggap penting untuk pengembangan karakter siswa karena memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar melalui pengalaman (experiential learning).  Pembelajaran aktif dan sarat kretaivtas merupakan tujuan utama lahirnya kurikulum ini. Pendidik dan peserta didik harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan mengejar ketertinggalan dalam pembelajaran.

Dampak positif dari penerapan kurikulum prototipe ini adalah pembelajaran yang tidak hanya bertumpu pada target materi, namun pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) dengan menitik beratkan pada materi yang lebih esensial. Pembelajaran menjadi lebih baik dengan meningkatnya karakter siswa. Dengan demikian Potensi siswa bisa lebih tergali dengan berbagai kesempatan belajar yang menyenangkan.

Khsusnya pembelajaran Bahasa Indonesia dengan penerapan kurikulum prototipe secara menyeluruh diharapkan tidak ditemukan lagi pembelajaran Bahasa Indonesia yang hanya bersifat reseptif. Guru tidak lagi terobsesi menjejali siswa dengan materi-materi dengan dalih mengejar materi, sehingga minim praktikum. Pembelajaran akan jauh lebih berpusat pada penggalian potensi siswa yang tentunya juga berpedoman pada pembelajaran diferensiasi. Teori-teori yang diberikan kepada siswa hanya sebagai landasan berpijak bagi siswa, dan aktivitas utama pembelajaran lebih kepada reaksi dari pada adaptasi.

Jadi dengan penerapan kurikulum Merdeka secara menyeluruh di satuan pendidikan, khususnya pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, di harapkan siswa tidak lagi hanya sebagai penyimak, namun mampu menemukan esensi setiap materi pembelajaran dengan terlibat aktif di dalamnya. Hadirnya kurikulum prototipe juga membawa berjuta harapan semoga learning loss dapat dicegah sebagai dampak pandemi Covid-19 yang berkelanjutan. Akhirnya, untuk para guru di seluruh Indonesia, selamat menyongsong paradigma baru kurikulum prototipe untuk kemajuan pendidikan di Indonesia dengan Merdeka Belajar.