You are currently viewing ROMANSA EKSPEDISI NEGARA SERUMPUN

ROMANSA EKSPEDISI NEGARA SERUMPUN

Artical Report Intercultural Journey By: Ai Marhayanti, M.Pd

Romansa Ekspedisi Negara Serumpun adalah judul yang ingin kububuhkan pada kisah singkat perjalanan hebatku bersama tim hebat tim  KEP Fellowship Journalism. Mengapa kunamai Romansa? Hal ini didasari pada begitu banyak kisah yang terukir dan ketika dirunut maka akan bertalian dan membentuk sebuah romansa.

Tema yang diusung pada Fellowship kali iniadalah Intercultural Journey. Satu yang ingin kugaris bawahi bahwa perjalanan ini adalah perjalanan mengenal budaya. Secara pribadi aku mengartikannya perjalanan mengenal sesuatu di luar diriku dengan tujuan agar aku lebih mengenal dunia khususnya budayanya, walaupun aku memulainya dari skup yang lebih kecil terlebih dahulu, yaitu dunia negara serumpun.

 Alasan mengapa aku memilih bergabung dan melakukan perjalanan budaya dengan tim hebat yang diketuai oleh kak Nur Iskandar ini adalah karena aku meyakini bahwa akan banyak hal-hal positif yang bisa kupelajari disini. Profesiku sebagai seorang pendidik menurutku, menuntutku untuk mengetahui lebih banyak hal mengapa aku harus tahu banyak hal? Karena menurutku lagi, tujuan utamanya tak lain dan tak bukan adalah agar transfer ilmu pengetahuan yang kulakukan kepada peserta didikku akan jauh lebih maksimal dan bermakna. Hal ini disebabkan transfer ilmu ini dilakukan berdasarkan kenyataan yang benar-benar pernah kualami, bukan berpijak di atas angan-angan dan khayalan semata dari proses pembacaan literature yang kubaca.

Singkat cerita Aku tak ingin seperti katak dalam tempurung yang hanya tau dunia tempurung. Aku ingin melihat dunia lebih luas. Bagaimana  akulturasi budaya di luar negaraku tercinta ini. Aapakah bumi Indonesia, tempatku dilahirkan ini juga memberi peran dan pengaruh terhadap akulturasi budaya dunia, khususunya negara-negara serumpun disekitarnya atau tidak? Kalaupun ada, aku ingin mengetahu sejauh apa pengaruh itu? Perjalanan singkatku ini yang bertajuk Intercurtural Journey bersama Kampoeng English Poernama dan AFS Bina Antar Buadaya chapter Pontianak, setidaknya akan sedikit menjawab sejumlah pertanyaan yang telah kuajukan dibenakku.

Mie Laksa dan Soto Banjar, Satu Pulau Beda Negara

Ekspedisi ini dimulai dengan menapakkan kaki di Sarawak, negara bagian Malaysia yang terletak di utara pulau Borneo. “Singgah” beberapa jam disini “menggelitik”ku untuk mengeksplorasi sedikit tentang tanah yang pernah dipimpin oleh Raja terakhir Serawak, Sir Charles Vyner Brooke ini, sebelum dia  memutuskan untuk menyerahkan Serawak sebagai bagian dari Mahkota Inggris pada tahun 1946. Layaknya yang dilakukan oleh para “pelancong” pada umumnya, untuk mengetahui dengan mudah dan cepat ciri khas suatu daerah adalah dengan mencoba menikmati makanan khasnya. Dan pilihan utama makanan khas yang menjadi harus dicoba adalah Mie Laksa khas Sarawak.

            Tidak ada sedikitpun bayangan yang bermain di kepala ini tentang apa, dan bagaimana “kondisi” makanan seperti apa Mie Laksa ini. Di Pontianak, daerah asalku, Laksa itu adalah mie yang teksturnya keras dan akan sangat lebut bila bertemu dengan air panas. Laksa ini kalau di Indonesia pada umumnya digunakan sebagai bahan pelengkap sayur sop. Namun apakah di sini sama atau tidak tentunya belum ada gambaran apapun untuk menjawab pertanyaan ini. Mom’s Laksa adalah gerai makanan Mie Laksa khas Sarawak yang menjadi destinasi kami hari ini.

            Mie Laksa dengan toping udang sudah tersaji “manja” dihadapan. Dari apa yang kulihat dapat dengan jelas kukatakan bahwa kalau di Indonesia makanan ini bukan Laksa tapi Bihun. Tapi kembali lagi, saat ini aku tidak sedang di Negaraku dan itu artinya kalau ada yang berbeda untuk sebuah penamaan maka itu sah-sah saja. Untuk bagaimana rasa belum ada gambaran sama sekali tentang makanan ini karena aku belum mencicipinya. Namun dari aroma yang “mampir” kehidungku, hasil identifikasi dari hidung kemudian ke otakku menunjukkan bahwa sepertinya aku tidak asing dengan aroma makanan ini. Aromanya sangat identik dengan Soto Banjar, makanan khas Banjar yang diawal tahun 2018 ini selama satu pekan kerap menjadi menu sarapan pagi ku selama tugas belajar di tanah kelahiran pahlawan nasional Pangeran Antasari dan juga kota kelahiran Almarhum kakekku.

            Okay, cukup! Kita tinggalkan cerita tentang Banjar dan melanjutkan  pembahasan tentang Mie Laksa yang telah tersaji hangat dihadapanku ini. Dari persamaan aroma kedua makanan ini, aku mulai mencurigai kalau Mie Laksa ini juga menggunakan bumbu Habang bumbu khas masyarakat Banjar yang selalu ada di semua jenis makanan Banjar dan merupakan bumbu yang konon katanya dihasilkan dari akulturasi budaya Arab dan India yang dahulu pernah “mampir” di daerah itu. Dan benar saja ketika mencicipi Mie Laksa dengan ditemani gemericik hujan yang membasahi tanah Sarawak saat itu, aku memutuskan bahwa Soto Banjar dan Mie Laksa dari sisi rasa memang memiliki kesamaan.

Rasanya memang bukan sesuatu yang aneh ketika terdapat kesamaan dalam beberapa hal antara Malaysia dan Indonesia, baik itu makanan, bahasa, dan geografis. Sarawak Negara bagian Malaysia ini terletak  di utara Pulau Borneo yang itu artinya juga berada di pulau yang sama dengan beberapa propinsi yang ada di Indonesia khususnya yang ada di pulau Kalimantan. Termasuk Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Utara tentunya.

Hujan Emas Di Negeri Orang, Hujan Batu Di Negeri Sendiri

Setelah singgah di Sarawak beberapa waktu, maka perjalanan pun dilanjutkan menuju satu diantara destinasi utama ekspedisi ini yaitu Singapura. Negara  yang menjadi anggota PBB ke-117 pada tanggal 21 September 1965 ini, adalah Negara modern nan maju. Selain negara maju, Singapur  juga termasuk 20 negara terkecil di dunia. Luas daerahnya tidak lebih dari 6.430/km2 yang terdiri dari 1 pulau utama dan 63 pulau kecil lainnya dan kebanyakan pulau tersebut tidak berpenghuni. 

Sebagai negara modern semua aktifitas masyarakat Singapura menggunakan tekhnologi tingkat tinggi. Listrtik merupakan komoditi utama yang harus ada untuk membantu berjalannya roda kehidupan masyarakat di negara ini. Bagaimana tidak selain peralatan rumah tangga, kamera pengintai, sampai kereta bawah tanah pun menggunakan listrik sebagai penggeraknya. Dibalik rasa takjubku terhadap maju nya negara ini, sempat terbayang juga dibenakku seandainya beberapa menit saja listrik padam di negara ini, maka dapat dipastikan Singapura akan lumpuh total. Semua aktivitas masyarakat akan terhenti, dan roda kehidupan masyarakat secara tidak langsung juga akan mati beberapa waktu.

Dari hasil pantauanku selama berada di negara ini, Selain rasa takjubku terhadap kecanggihan tekhnologi yang mereka gunakan, disiplin, tertib dan ketaatan mereka terhadap aturan yang berlaku sangat pantas untuk dicontoh dan diimplementasikan di Indonesia. Warga Singapura sangat taat pada peraturan yang berlaku. Mereka menyadari betul bahwa aturan  dibuat untuk ditaati bukan untuk dilanggar!

Uniknya, selama berada di Singapura, belum sekalipun aku melihat adanya aparat keamanan yang berjaga-jaga baik itu mengatur lalu lintas di jalan raya maupun di tempat-tempat vital seperti stasiun MRT dan tempat-tempat lainnya. Aku sempat berseloroh kepada salah seorang peserta fellowship “Singapura ini punya polisi gak ya? Kok dak pernah liat.” Semua terlihat berjalan sebagaimana mestinya hanya berpanduankan marka-marka aturan yang ada. Di Negara ini, sepertinya keberadaan kamera pengintai di setiap sudut sudah cukup efektif untuk menggangtikan peran aparat keamanan.

Warga  negara Singapur sangat majemuk. Mereka berasal dari berbagai bangsa yang ada di dunia, hal ini terlihat dari casing  (tampilan fisik) mereka. Ada yang keturunan India, China, Inggris, Indonesia, dsb. Kalau Malaysia punya taglineMalaysia Truly Asia” maka aku ingin juga membuat tagline  “Singapore the Truly World. Menurutku dari pengamatan singkat yang kulakukan masyarakat Singapur terlihat sangat serius dan jarang beramah-tamah. Selama berada di Negara ini hampir tidak pernah kusaksikan mereka saling berbincang hangat sembari berjalan menelusuri lorong menuju landasan MRT atau sedang menunggu MRT berikutnya. Wajah-wajah mereka cenderung serius, jarang tersenyum dan cara jalannya setengah berlari. Apakah hal ini terbentuk karena mereka terbiasa berpacu dengan waktu ketika mengejar kendaraan umum yang akan mengantar mereka beraktivitas, lalu tanpa sadar menjadi budaya mereka? Entah lah aku pun tidak sempat melakukan penelusuran lebih lanjut tentang hal ini. Singapore Fintech Festival 2018yang merupakan event finance technology terbesar di dunia ini juga memberiku banyak pembelajaran positif selama aku berada di  negara pecahan Malaysia pada tahun 1965 ini. Pembelajaran ini  tidak hanya tentang dunia finance namun juga tentang budaya yang diusung oleh para pesertanya.

Yang tidak kalah menarik juga dari Singapura adalah manula atau orang tua lanjut usia di sini tetap dikaryakan untuk bidang pekerjaan tertentu. Bidang-bidang pekerjaan yang cenderung ringan, santai dan tidak bersentuhan langsung dengan teknologi seperti menjaga antrian pembelian karcis MRT, petugas yang membantu menunjukkan arah bagi para pelancong yang bertanya atau  petugas yang khusus melayani pelanggan yang ingin membeli ice cream di MC Donald. Sempat ingin kutanyakan kepada beberapa manula yang kutemui perihal yang kuamati tapi hal ini urung kulakukan karena aku tidak punya cukup waktu untuk berinteraksi dengan mereka dan melakukan wawancara lebih lanjut.

Dari hasil obrolanku dengan satu diantara peserta Fellowship Journalism 2018 yaitu kak Dwi beliau mengatakan bahwa dari hasil pembacaan yang beliau lakukan pada beberapa artikel menunjukkan bahwa Singapura sangat memikirkan para manulanya. Semua fasilitas umum di negara ini baik taman, pusat perbelanjaan, kendaraan umum,dan  jalan raya sangat ramah manula dan kaum disabilitas. Pemerintah Singapura bahkan punya program angka harapan hidup masyarakat Singapura hingga 100 tahun. Menurutku hal ini tentu sangat luar biasa dan pantas diapresiasi.

“Hujan emas di negeri orang hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri.” Adalah pribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan semua cerita yang terukir selama berada di Negara berlambang ikan berkepala singa ini (Merlion). Dibalik semua warna dan cerita rasa heran, takjub dan terpana, selama berada di negara yang dipimpin oleh seorang  presiden wanita bernama Halimah Yacob ini. Namun tidak sedikit juga hal-hal yang kurasakan kurang nyaman di hati dan Indonesia Negaraku tercinta tetap menjadi tempat pulang yang sempurna.

Berdasarkan pengamatan singkat yang tentunya belum dapat dipertanggungjawabkan kevalidannya, aku membangun beberapa asumsi tentang Negara ini sebagai betrikut: Pertama, kuliner di singapur tidak begitu bersahabat di lidahku, bumbu yang digunakan menurutku terlalu berlebihan. Kedua, biaya hidup di negara ini sangat tinggi, bahkan untuk membeli sebotol air mineral 500ml pun aku harus berpikir berulang-ulang karena harus mengeluarkan uang 1 dolar sing untukmendapatkannya. Menurutku tidak mudah untuk bisa survive di Negara ini karena semua barang mahal di sini. Ketiga, menurutku Negara ini terlalu kecil tidak ada pemandangan yang alami di negara ini semua serba buatan bahkan air terjun kebanggan mereka pun buatan. Karena lahan yang sempit mereka tidak punya cukup ruang untuk membuat taman bermain anak dan sebagainya seperti yang ada di Indonesia. Keempat, tuntutan hidup yang begitu tinggi membuat masyarakat Singapura sepertinya tidak cukup waktu juga untuk sekadar beramah tamah, dan saling menyapa (asumsi semata), berbeda jauh dengan masyarakat Indonesia yang terkenal ramah dan senang menyapa siapa saja.

BTW Aku terlupa bercerita tentang satu hal, cerita tentang aku yang  “baper” ketika sampai di bandara Changi, aku yang juga “baper” ketika dalam perjalanan dari bandara menuju hostel di tengah malam buta. Penyebab “baper” yang kualami ini sepertinya sangat sederhana dan aku pun sulit untuk memercayainya. Penyebab ”baper” ini tak lain dan tak bukan adalah karena aku terbanyang pada cerita tentang almarhumah nenekku ibu dari ayahku yang seorang Bugis itu, yang konon katanya lahir di negara ini.

Menurut hematku berdasarkan cerita yang kuperoleh tentang nenekku ini boleh juga lah menjadi dasar untuk  aku sedikit mengklaim bahwa leluhurku pernah jadi bagian dari negara ini. Tanah Singapur ini adalah tanah leluhurku (ingin tertawa geli aku membaca kalimatku ini). Apalagi hal ini diperkuat dengan keberadaan Bugis Vilage di negara ini semakin memperkuat keyakinanku kalau Singapura dahulu memang sempat menjadi bumi berpijak para leluhurku (aku semakin ingin tertawa terbahak-bahak atas klaim konyol ini).  

Negeri Sembilan, Negeri Yang Dipertuankan Pagaruyung

            Kamis, 15 November 2018 pukul 14.00 waktu Malaysia rombongan KEP Fellowship 2018 mulai bertolak meninggalkan Singapura menuju ibukota Negara Malaysia yaitu Kuala Lumpur (KL). Enam jam perjalanan darat ditempuh dari Singapura untuk sampai ke KL. Banyak drama-drama kecil dan keseruan terjadi sepanjang perjalanan menuju ibu kota Malaysia ini. Mulai dari keseruan berupa candaan-candaan hangat para peserta Fellowship hingga drama sang supir bus  yang tempramen acapkali mengundang kekesalan hati para penumpang dan aku tentunya.

            Jumat,16 November 2018 adalah hari yang akan terukir sebagai sejarah baru dan akan terus membekas dalam memoriku. Di hari ini, untuk pertama kalinya aku mengenal dan menginjakkan kaki di negara bagian Malaysia yaitu Negeri Sembilan di Seremban. Di sini aku berkenalan dengan kakak-kakak dari AFS Negeri Sembilan seperti kak Eja, Kak Aida, Aunty Wati, pak Koe dan yang lainnya. Mereka menyambut kami dengan sangat ramah dan baik. Tak ada gurat perbedaan sama sekali diantara kami semua, padahal kami berasal dari negara yang berbeda. Bukan rahasia umum lagi bahwa hubungan antara negaraku Indonesia dengan Malaysia sering kali terjadi ketegangan diantara keduanya, walaupun kita adalah dua negaran dari rumpun yang sama. Namun hari ini, di Seremban Negeri Sembilan semua terkikis musnah karena yang ada hanya cinta kasih dan persaudaraan.

            Sambutan hangat terhadap aku dan tim dimulai dengan kakak-kakak ini menjemput kami di stasiun kereta. Dilanjutkan dengan sarapan pagi di gerai makanan tradisional Negeri Sembilan, lalu ke ostrich farm (peternakan Burung Untan) terbesar di Malaysia, hingga menggunjungi musium Seremban. Di Ostrich Farm ini serangkaian cerita lucu terurai disini. Dari  cerita “sawannye” memberi jagung untuk makann Burung Unta, takut diseruduk Kambing hamil, hingga histeria kawan-kawan ketika menunggangi Burung Untan. Sungguh pengalaman yang sangat menakjubkan.

Kak Eja, Kak Aida, dan Aunty Wati yang kebetulan satu mobil denganku bercerita banyak tentang asal usul Negeri Sembilan yang termasyur ini. Ternyata Negeri Sembilan yang dahulu bernama Negeri Sembilan Darul Khusus merupakan Negara bagian Malaysia yang berbatasan dengan Selangor di utara, Pahang di timur, Johor di Tenggara, Melaka di Selatan dan Selat Malaka di Barat. Pada awalnya kawasan ini dibentuk  oleh perantau Minangkabau dan menjadikan kawasan pemukiman pada masa kejayaan Kesultanan Melaka. Kemudian masyarakat yang bermukim pada sembilan negeri seperti Johol, Jelebu, Klang, Sungai Ujong, Naning, Rembau, Jelei, Segamat dan Pasir Besar membentuk semacam konfederasi yang disebut dengan lembaga dan dinamakan Negeri Sembilan.

Dari semua penjelasan yang dipaparkan oleh kak Eja dan kawan-kawannya ini, yang paling menarik perhatianku adalah pada kata “Minangkabau.” Negeri Sembilan ternyata didirikan oleh masyarakat Minangkabau. Dan benar saja, ketika mengunjungi museum Seremban miniature rumah adat tradisional Negeri Sembilan adalah Rumah Gadang. Rumah Gadang  adalah rumah adat tradisional masyarakat Sumatra Barat. Minangkabau adalah suku asli yang mendiami daerah Sumatra Barat.

Sebuah perjalanan budaya yang luar biasa, yang jujur saja tak akan sanggup kuungkapkan dengan kata-kata. Rasa syukur yang tidak terhingga kehadirat Allah S.W.T telah memberikanku kesempatan untuk melangkahkan kaki dan bertemu dengan orang-orang baik di negeri ini. Di Negeri Sembilan ini aku merasakan kehangatan keluarga baru, keluarga yang baru kutemui, keluarga AFS chapter Negeri Sembilan Seremban yang tidak hanya baik namun punya hati yang tidakhanya baik namun juga luas, seluas samudra.